Ternyata Tidak Semua Laptop untuk AI itu Sama: ASUS Vivobook S14


 

Kesimpulan: Saya baru tahu kalau ternyata tidak semua laptop itu punya kemampuan yang sama untuk menjalankan pemrosesan AI (Artificial Intellegence). Ada teknologi baru bernama NPU (Neural Processing Unit), yang secara sederhana adalah otak kecil di dalam laptop yang tugasnya khusus menangani aktivitas berbau AI. Saat ini, belum semua laptop sudah punya teknologi tersebut.

 

Singkatnya, laptop yang punya NPU ini secara umum akan mampu menjalankan aplikasi berbasis AI dengan lebih cepat dibandingkan laptop yang belum mengadopsi teknologi NPU. Dengan semakin populernya program-program berbasis AI, serta semakin banyaknya pekerjaan bisa dikerjakan lebih cepat dan mudah berkat bantuan AI, rasanya cukup bijak kalau kamu mempertimbangkan keberadaan NPU saat memilih laptop baru.

 

Kalau kamu merasa laptopmu sekarang sudah mulai melambat dan butuh laptop baru yang bisa diandalkan untuk menjalankan aktivitas AI, mungkin kamu akan suka laptop terbaru dari ASUS, yaitu Vivobook S14.

 

Mari kita kenalan, apakah Vivobook S14 yang berkode S3407CA ini worth it di tahun 2025? 

***

1. Vivobook S14 S3407CA mampu aplikasi berbasis AI dengan cepat dan pintar

 

Contoh skenario penggunaan AI dalam editing foto

Sepertinya AI memang masa depan. Suka atau tidak. Foto di atas adalah contoh sederhana bagaimana AI bisa memudahkan aktivitas sehari-hari kita. Pada foto di atas, saya merasa terganggu dengan garis-garis pada tembok di belakang saya. Di workflow lama, kita harus melakukan clone pattern dari tembok untuk menutupi garis yang mengganggu. Hasilnya juga kadang tidak sesuai apalagi kalau kita tidak mahir melakukan seleksi object.

 

Pada foto di atas, saya coba seleksi kasar dan biarkan AI yang beraksi. Sebagai pengguna yang sebetulnya tidak begitu mahir dengan aplikasi manipulasi foto, teknologi AI ini super duper membantu.

 

Vivobook S14 ini sudah dibekali dengan teknologi NPU dengan kemampuan hingga 13 TOPS. TOPS (Tera Operations Per Second) adalah seberapa banyak operasi atau perhitungan yang bisa dilakukan oleh NPU ini dalam satu detik. Semakin tinggi angka TOPS-nya, semakin cepat dan pintar laptop tersebut dalam menjalankan tugas berbasis AI.

 

Di tahun 2025, kemampuan NPU dengan performa sekitar 13 TOPS sudah tergolong cukup mumpuni jika kamu sering melakukan aktivitas AI ringan sampai menengah, misalnya menjalankan aplikasi foto atau video editing yang punya fitur AI. Contoh seperti object removal yang saya perlihatkan pada foto di atas.

 

13 TOPS ini sudah mampu memberikan respons yang cepat dan efisien. Untuk pengguna umum, mahasiswa, atau pekerja kreatif, Vivobook S14 ini sudah mumpuni dan relevan.

 

2. Performansi Vivobook S14 S3407CA bisa diandalkan

 


Bagaimana dengan performa Vivobook S14 ini? Sepertinya tidak berlebihan untuk bilang kalau Vivobook S14 di tahun 2025 ini sangat bisa diandalkan. Untuk aktivitas yang lumayan berat pun, seharusnya oke.

 

Pasalnya, ASUS Vivobook S14 dirancang sebagai laptop modern dengan performa AI premium dan mobilitas tinggi. Laptop AI ini hadir dengan berbagai pilihan prosesor, salah satunya adalah berbasis prosesor Intel® Core™ Ultra (Series 2) yakni Intel® Core™ Ultra 5 Processor 225H dan Intel® Core™ Ultra 7 Processor 255H.

 

Sederhananya, untuk aktivitas komputer sehari-hari, seperti seperti menjalankan aplikasi office, Vivobook S14 ini sudah lebih dari cukup. Untuk aktivitas berkomputer yang kategorinya menengah, seperti editing foto atau editing video, Vivobook S14 ini masih aman. Tentu dengan catatan, editing foto dan editing video yang dilakukan sesuai dengan skalanya projectnya pula.

 

Skala project adalah kunci. Sebagai gambaran, Vivobook S14 ini seharusnya bisa digunakan untuk project video editing dengan resolusi Full HD (1080p). Sementara untuk project beresolusi 4k, bisa-dengan catatan. Jika proyek 4k kamu berupa klip pendek tanpa banyak efek, transisi, atau color grading yang kompleks, mungkin masih bisa ditangani.

 

3. Vivobook S14 S3407CA bisa diajak multitasking

 
Vivobook S14 hadir dengan RAM DDR5 sebesar 16GB, yang secara umum lebih cepat dibanding laptop generasi sebelumnya yang masih banyak di generasi DDR4. RAM atau kecepatan memori ini berpengaruh sangat signifikan kalau kamu membuka banyak aplikasi sekaligus, atau berpindah antartugas.

 

Jadi kalau misalnya kamu sering mengerjakan tugas kuliah atau kantor sambil dengar podcast, browsing referensi, buka spreadsheet, pertimbangkan tentang RAM ini sangat penting supaya aktivitas kamu tetap lancar tanpa nge-lag. RAM ini juga berpengaruh untuk kelancaran jalannya aplikasi.

 

Laptop pribadi yang saya gunakan saat ini juga punya kapasitas 16GB dan saya merasa masih sangat nyaman untuk aktivitas sehari-hari, mengedit video juga masih sanggup. Kabar baiknya lagi, kalau saat kamu menggunakan Vivobook S14 ini dan suatu saat merasa ah RAM-nya kurang, RAM Vivobook S14 ini bisa di-upgrade, tidak perlu langsung ganti laptop - kecuali kamu sultan ya bebas.

 

4. Vivobook S14 S3407CA untuk Work From Cafe?

Kayaknya sekarang wajib banget ya, laptop itu bisa diajak ngafe. Kayak, wajib. Laptop, lu jangan malu-maluin guweh! 

 

Saat saya menggendong ASUS Vivobook S14 ini, kesan saya cukup ringan. Bobotnya mulai dari 1,4kg dan ketebalannya mulai dari 1,59cm. Bentuknya juga ringkas, jadi masih okelah kalau kamu sering pindah tempat, pindah dari ruang kuliah ke ruang kuliah, atau jelajah cafe ke cafe untuk ber-WFC. Sudah pakai WiFi 6E untuk mendukung internetan dengan wifi yang lebih cepat dan stabil.

 

Saya juga suka desainnya, masih okelah untuk diupdate di story dengan caption WIP alias Work In Progress seperti orang-orang gaul masa kini.

 

Tapi kan ya, apa gunanya laptop itu kalau baterainya lemah? Tidak jadi itu apa-apa anda. Tenang, ASUS Vivobook S14 ini punya daya tahan baterai hingga lebih dari 12 jam, kamu bisa tetap produktif. Lupa charger pas ke cafe ya masih aman-aman saja. Ini tidak ada rencana nginap di cafe kan ya?

 

5. Vivobook S14 S3407CA soal ketahanan fisik

Masih lanjut soal mobilitas. Sebagai laptop yang dirancang untuk menunjang mobilitas tinggi, ASUS membekali Vivobook S14 dengan sistem perlindungan yang tangguh dan andal. Laptop ini menggunakan bodi dual-metal chassis yang kokoh dan telah mengantongi sertifikasi ketahanan US Military Grade Durability (MIL-STD-810H). 


Sertifikasi ini membuktikan bahwa Vivobook S14 mampu bertahan dalam berbagai kondisi ekstrem dan penggunaan jangka panjang, menjadikannya perangkat yang andal untuk aktivitas sehari-hari maupun perjalanan.

 

Jadi kalau kamu sering ada kuliah lapangan, atau cuti kerja mau holidei tapi on call bawa laptop ya, ketahanannya masih bisa diandalkan.

 

6. Vivobook S3407CA sudah dilengkapi aplikasi office

Untuk meningkatkan pengalaman pengguna, Vivobook S14 juga telah dilengkapi dengan langganan gratis layanan Microsoft 365 selama satu tahun, serta Office Home & Student 2024 seumur hidup. Jadi amanlah, tinggal pake.

 

7. Vivobook S14 berani kasih garansi internasional hingga 3 tahun.

Ya! Anda tidak salah baca! ASUS memberikan garansi internasional selama tiga tahun. Saya ulang: Garansi. Internasional. Tiga. Tahun.

 

Kamu bisa melakukan klaim di 114 negara tanpa dikenakan biaya servis maupun penggantian spare-part. Jadi kapan-kapan, kalau sedang business trip di luar negeri lalu hari sial itu muncul laptopnya tiba-tiba bermasalah, silahkan datang ke service center di negara tersebut. Jika negaranya termasuk 114 negara dalam skema garansi internasional ASUS, kamu bisa bernapas lega. 

 

Untuk anda yang ceroboh (termasuk saya hehe). ASUS juga menyertakan program perlindungan ekstra bernama ASUS VIP Perfect Warranty. Program ini memberikan jaminan penggantian komponen atas kerusakan akibat kelalaian pengguna di tahun pertama pemakaian.

 

Lewat perlindungan menyeluruh baik dari sisi desain maupun layanan, Vivobook S14 ini bisa jadi pilihan tepat bagi kamu yang membutuhkan laptop tangguh dan siap menemani aktivitas di mana saja.

***

Saya rasa Vivobook S14 ini sangat worth it. Dengan semua fitur yang ditawarkan, saya bisa merekomendasikan Vivibook S14 untuk untuk mahasiswa yang aktif, pekerja kantoran yang sering kerja remote, content creator pemula yang mulai main di editing, atau pengguna umum yang ingin laptop harian yang nggak cepat kedaluwarsa secara performa.

Alamat Blog Baru dan Mau Dibawa ke Mana Blog Ini?


Kehilangan akses ke domain lama

Tahun 2013 setelah lima tahun nge-blog, saya memutuskan untuk membeli domain premium untuk blog ini. Biar kayak bloger beneran. Dengan bangga, saya menggunakan identitas itu ke mana-mana.

 

Sebelas tahun berlalu. Sekitar pertengahan 2024, saya kehilangan akses ke dashboard pengelolaan domain saya. Sebenarnya saya sudah menghubungi customer service dan mereka menawarkan solusi administrasi yang masuk akal tetapi cukup berat untuk saya lakukan.

 

Setelah menimbang cukup lama, saya memutuskan untuk menggunakan domain baru saja sekalian.


Kondisi terkini

Tahun 2024, saya hanya berhasil menelurkan dua biji tulisan. Sungguh sebuah prestasi yang tidak membanggakan. Dibilang sibuk, sebenarnya masih bisa meluangkan waktu juga. Teman-teman saya, yang bahkan lebih sibuk saja masih bisa meluangkan waktunya.

 

Ngomong-ngomong soal teman, dunia blog belakangan ini semakin sepi. Meskipun jarang posting, saya masih rutin membuka blog-blog teman-teman saya. Beberapa masih aktif, lebih banyak lagi yang sudah tidak update. Pindah ke Youtube, Instagram, atau Tiktok.

 

Lalu untuk apa membeli domain?

Saya juga bingung kenapa saya mengeluarkan uang dua ratus ribu untuk membeli domain ini kalau sudah jarang diisi dan teman-teman blog juga sudah semakin berkurang.

 

Mungkin alasan nostalgia. Beberapa waktu yang lalu, saya membaca kembali tulisan yang saya tulis sewaktu masih kuliah. Geli. Namun itu adalah tulisan saya, yang saya anggap keren pada waktu itu.

 

Scroll, scroll, scroll di tulisan lain, saya tertawa. Sedih. Atau sesimpel, "oh ini pernah kejadian ya?". Membaca tulisan-tulisan lama seperti berdialog dengan diri sendiri di masa yang lalu. Dia seperti bilang, "eh ingat ini tidak?". Lalu menunjukkan tulisan dan foto yang dia maksud.

 

Blog ini adalah hidup saya

Saya membuat blog ini di sebuah warung internet, sebelah SMP 30 Makassar. Tidak ada tujuan, hanya karena suka. Blog ini juga beberapa kali mendatangkan hal baik, membuka kesempatan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ke Bali gratis, salah satunya.

 

Blog ini adalah arsip kehidupan saya. Entah mengapa, saya bisa jujur di sini, di blog saya sendiri, sebagai diri saya sendiri.

 

Suatu hari nanti ketika ingatan saya mulai tumpul, saya ingin bercerita kembali dengan diri saya di masa yang lalu itu. Mengingatkan hal-hal baik yang pernah saya alami. Meski agak khawatir juga kalau suatu hari, anak saya menemukan blog ini dan membaca aib bapaknya (Halo, Ale!).

 

Blog ini telah lebih daripada arsip, blog ini adalah hidup saya. Ketika saya menikah, di saat orang-orang pada umumnya membuat undangan digital di vendor, saya membuat undangan pernikahan via blog ini.

 

Bukan karena pelit, tetapi saya ingin undangan saya personal dan tetap ada selama blog ini masih bisa diakses. Kalau numpang di server orang, tidak lama juga hilang.

 

Untuk kamu yang membaca blog ini, selamat menyambut tahun baru 2025 yang datang sebentar lagi, dan selamat datang (pause sejenak) dityar.com.


Makassar setelah lima tahun merantau, 2024.

Seru! Belanja dan Ikut Workshop di ASUS Exclusive Store Makassar


Kesimpulan

Alamat ASUS Exclusive Store Makassar adalah di Trans Studio Mall Makassar LG No 91A. Berbelanja melalui ASUS Exclusive Store punya banyak kelebihan, seperti stok yang selalu update, jaminan keaslian dan garansi produk, serta kesempatan untuk mencoba produk secara langsung.

***

Workshop di ASUS Exclusive Store
Seru. Itulah kesan yang saya rasakan saat menghadiri workshop yang dilaksanakan di ASUS Exclusive Store Sabtu kemarin.

 

Workshop pertama dibawakan oleh Picel Media, dan yang kedua dibawakan oleh AiAirin, seorang gamer, cosplayer, serta idol asal Makassar. Kedua narasumber membahas bagaimana kita dapat memanfaatkan AI untuk memudahkan aktivitas harian kita.

 

AiAirin yang datang lengkap dengan kostum Ada Wong dari game Resident Evil berbagi pengalaman menggunakan laptop ASUS ROG untuk main game secara maksimal, serta fitur AI untuk mencari inspirasi pose cosplay. Keren sekali!

 

Selain workshop yang seru, kabar baik lainnya adalah sekarang di Makassar sudah ada ASUS Exclusive Store. Berikut ini adalah enam keuntungan berbelanja melalui ASUS Exclusive Store:

 

1. Stock yang Update
Kelebihan berbelanja di ASUS Exclusive Store yang pertama adalah stok yang selalu update. Jadi, semakin gampang mencari produk baru. Tidak seperti pengalaman saya di tahun 2011 yang harus keliling Makassar mencari laptop baru yang baru saja dirilis waktu itu. *flashback.

 

2. Keaslian dan Garansi
Ini sudah jelas ya, berbelanja jadi lebih aman dan nyaman dengan jaminan keaslian dan garansi barang yang kita beli. Tidak ada lagi kekhawatiran barang bekas, KW, atau refurbish! Dan jika ada kerusakan dalam masa garansi, tinggal bawa ke service center, beres.

 

Garansi ASUS juga panjang: 2 tahun global.

 

3. Mencoba Produk Langsung
Sepertinya ini yang paling menarik. Kemarin waktu mengikuti workshop di ASUS Exclusive Center, saya mencoba ROG Ally yang dipajang. ROG Ally sendiri adalah produk gaming handheld yang mulai menarik perhatian saya. Setelah mencoba, rasanya jadi makin ingin saja.
 

Beli kali ya?

 

4. Perbandingan Produk
Bingung mau Zenbook yang mewah atau versi ROG yang gaming banget? Bisa dicoba dulu di tempat. Bingung? Tinggal konsultasi dengan staff ASUS yang stand by. Kalau sudah yakin, bungkus.

 

5. Aksesoris Resmi
Selain laptop, ASUS Exclusive Store juga menjual aksesoris resmi. Jadi lebih gampang kalau misalnya beli laptop TUF dan mau mouse gamingnya juga, bisa!

 

6. Promo Eksklusif
Biasanya, ASUS Exclusive Store punya gimmick dan promo. Bentuknya bisa berupa diskon atau cashback.

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi Instagram @asusexclusivestore.tsm. Oh iya, workshopnya masih akan ada lagi. Silahkan simak di akun Instagramnya ya. Saya sendiri sudah berhasil bawa pulang mouse TUF sebagai doorprize hehe.

 

Narsis bersama AiAirin dan Blogger Makassar

Micro Four Third Belum Mati: Lumix G9 Mark II Hands-On & First Impression

Lumix G9 Mark II: Napas Baru Sistem MFT
Titik Lemah Lumix

Bertahun-tahun, sistem autofocus Lumix menjadi titik lemah. System DFD yang digunakan Lumix, sebenarnya untuk foto masih cukup-cukup saja. Namun sekarang sudah banyak fotografer yang merangkap videografer juga dan lingkungan kerja mereka menuntut autofocus yang cepat dan reliabel supaya tidak kehilangan momen.

 

Andai saja Lumix berani membuang sistem DFD dan mengadopsi Phase Detection Auto Focus (PDAF) yang lebih reliabel dan predictable, saya yakin Lumix menjadi satu langkah lebih dekat menjadi kamera yang sempurna.

 

Sampai akhirnya kejadian. Setelah cukup lama, lewat tajuk New Phase, Lumix mengadopsi teknologi PDAF di jajaran Full Frame melalui seri S5 Mark II dan S5 Mark IIX yang langsung mendapatkan respon yang sangat positif di kalangan para profesional dan para antusias.

 

Seri S5 Mark II dan S5 Mark IIX menerima banyak review positif dan menjadi salah satu kamera paling laku di tahun 2023 kemarin. Mafhum, selain sistem autofocus yang sudah jauh lebih baik, kedua kamera ini juga membawa segudang fitur untuk para videografer dan sinematografer.


Lumix Melupakan MFT?

Akhir tahun kemarin, hampir setahun setelah merilis S5II dan S5IIX, Lumix akhirnya mengumumkan generasi penerus Micro Four Third terbaru setelah GH6 mendapatkan respon yang sepertinya kurang menyenangkan.

 

Jangan salah, GH6 adalah kamera siap tempur dengan segudang fiturnya dan siap menemani kita menerjang segala hambatan hidup - jika kita tidak perlu autofocus. Ayolah, lensa sinema juga toh masih manual fokus juga. Saya akan dengan senang hati mengawinkan GH6 dengan lensa vintage dan boom: cinematic.

 

Lumix G9 Mark II 37mm; ISO 1000; F1.7; 1/250

G9 Mark II (selanjutnya ditulis G9II), akhirnya datang ke Indonesia. Seperti oasis di tengah hausnya para antusias MFT dan komunitas Lumix Owner Indonesia (LOI) yang sudah lama mendambakan rilisan terbaru dari Lumix agar sistem ini tidak mati.

 

Sepertinya cukup aman untuk bilang: Lumix belum melupakan MFT.

 

Lumix G9II: Hands On & First Impression

G9II ini adalah kamera high-end. Bisa berdiri sendiri sebagai senjata utama, G9II ini sepertinya cocok sebagai B-Cam pelengkap S5II dan S5IIX. Bodinya sama persis sehingga aksesoris yang kompatibel dengan kedua kakaknya itu, kemungkinan besar juga akan kompatibel di body G9II. Kontrol dan tombol-tombolnya juga sepertinya identik.

 

Dari segi build quality terasa kokoh khas Lumix. Cukup nyaman di genggaman tetapi perlu diingat lagi karena bodinya sama persis dengan S5II dan S5IIX, G9II ini bukanlah kamera kecil.

 

Bekerja dengan G9II di luar ruangan dengan kondisi cuaca yang tidak terprediksi juga cukup menenangkan karena bodinya sudah tahan debu dan percikan, serta dapat beroperasi pada suhu -10 hingga 40 derajat celcius.

 

Lumix G9 Mark II di 44mm; ISO 1000; F1.7; 1/250.

Autofocus G9II Sudah Bisa Dipercaya?

Dalam pengetesan singkat 10 menit saya kemarin, autofocus G9II sepertinya sudah bisa diadu dengan kompetitor dan jelas bukan lagi deal-breaker seperti generasi sebelumnya. Pulsing sudah tidak muncul dan autofocusnya cepat dan snappy untuk foto. Pada mode video, autofocus-nya cukup lengket pada subjek di video dengan mode AFC (continous AF) dengan moda Human Detection.

 

Lumix G9 Mark II di 42mm. ISO 1000; F1.7; 1/250

Perlu dicatat pengetesan ini saya lakukan untuk 1 orang subjek di depan kamera, sehingga saya tidak bisa mengetes bagaimana performa G9II apabila digunakan di kondisi keramaian seperti liputan ataupun wedding. Silahkan cari reviewnya melalui Youtube.

 

Lumix G9II Untuk Siapa?

Apakah Lumix G9 Mark II Worth It? Jawaban singkat saya: ya. Dibanderol dengan harga Rp29jutaan, jelas ini bukan kamera murah. G9II ini meski mengedepankan fotografer duluan, fitur videografinya sangat bisa mendukung lingkungan kerja profesional dengan dukungan codec yang sangat kaya, dukungan perekaman Prores 422, Real-time LUT, serta dapat merekam langsung ke SSD yang lebih efisien dibandingkan dengan CF-Express atau bahkan SD Card yang perbandingan kapasitas dan harganya yang lebih mahal.

Untuk spesifikasi lengkap Lumix G9 Mark II, silahkan ke website Panasonic Lumix.

 

Lumix G9 Mark II V-Log VS Rec 709 Conversion

Meskipun tidak memiliki active cooling (kipas) seperti S5II dan S5IIX, Lumix memiliki track record yang sangat baik dalam melawan masalah overheat dibandingkan kompetitornya. Pun begitu, perlu tetap bijak apalagi mengingat kondisi cuaca tropis Indonesia yang cenderung panas di luar ruangan.

 

Untuk perekaman pendek masih sangat aman, untuk perekaman panjang pun seharusnya aman tetapi harap tetap waspada demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.


G9II ini juga cocok untuk para creator karena sudah mengadopsi teknologi Open Gate juga, mode ini memungkinkan G9II memanfaatkan seluruh ukuran sensor sehingga memudahkan untuk editing keperluan publikasi berbagai media vertikal maupun horizontal.

 

Harapan Seorang Penggemar Kere

Foto bersama Class With Lumix bersama Yudha dari AlphaWorksID

G9II adalah angin segar. Lama dinantikan, kemampuannya memang di luar ekspektasi. Sayangnya, begitu pula harganya. Apabila saya bekerja di lingkungan profesional dan saya sudah memiliki beberapa lensa MFT, saya mungkin tidak akan ragu memilihnya.

 

Sepertinya Lumix juga akan sepenuhnya meninggalkan sistem autofocus berbasis contrast detect (DFD) sehingga kemungkinan besar rilisan berikutnya juga akan mengadopsi PDAF.

 

Sampai saat ini saya masih menggunakan Lumix G85 yang sudah terbilang cukup jadul. Saya sudah punya keinginan untuk upgrade dan mungkin akan menunggu rilisan terbaru yang lebih compact dan terjangkau. Mungkin di lini GX atau G100 Mark II seperti yang dirumorkan.

 

Apabila kamera rilisan Lumix berikutnya lebih terjangkau, mengusung sensor yang lebih anyar, mampu merekam 10 bit (420 juga tidak masalah), 5-axis IBIS (mengingat Lumix pernah mengeluarkan kamera tanpa IBIS), keinginan saya untuk pindah ke brand sebelah mungkin akan dibatalkan.

Pengalaman Pemula Ikut Event Foto Model (Yamaha Photo Race) dengan Lumix G85


Ragu dan minder

Saya mendapatkan info perihal event ini di grup komunitas. Jujur saya tertarik karena pertama belum pernah, kedua ada slot gratis. Namun saya sempat ragu karena minder dengan gear begitupun skill yang saya punya.

 

Saya sudah membayangkan yang ikut event ini pasti para fotografer yang sudah terbiasa. Semua sudah jago, lengkap dengan peralatan perang yang lengkap nan mahal. Jam sudah menunjukkan 06.30, registrasi seharusnya dimulai jam 07.00 sementara saya belum memutuskan.

 

Akhirnya, dengan menarik satu napas panjang sambil meyakinkan diri, saya mengambil kamera Lumix G85, lensa Olympus 12-40mm f2.8 Pro, dan lensa jadul andalan saya canon nFD 50mm f1.4.

 

Lumix G85 | Canon nFD 50mm

Sesampai di lokasi, saya cukup lega karena ketakutan saya tidak terbukti sepenuhnya. Peserta yang ikut memang banyak yang pro tetapi ternyata saya bukan satu-satunya pemula yang ikut. Saya memerhatikan alat tempurnya juga terdiri dari berbagai lini harga dari Canon seri R terbaru sampai Canon 600D produksi 2011. Terpantau juga lensa seri GM dan Zeiss yang harganya mencapai puluhan juta, hingga lensa 7Artisans yang harganya sejutaan.

 

Yamaha Photo Race

Acara ini bernama Yamaha Photo Race, sebuah event fotografi yang dilaksanakan oleh Yamaha dan didampingi oleh Martha Suherman, fotografer profesional yang sudah sangat lama malang melintang di dunia fotografi Indonesia. Setelah registrasi, Ci Martha memberikan pengarahan soal event. Seluruh peserta mendengarkan dengan serius, sambil menyiapkan kamera, lensa, sampai perlengkapan lighting yang dibawa sendiri.

 

Yamaha selaku penyelenggara telah menyiapkan model dan property berupa Yamaha Fazzio dan Filano yang begitu imut dan menarik, serta Yamaha Nmax yang nampaknya terlalu macho untuk pria berukuran nano seperti saya.

 

Ah, kebetulan saya memang naksir sama Fazzio. Sekalian sajalah lihat-lihat.

 

Pengalaman pertama

Sebagai seseorang yang sebenarnya hanya ikut-ikutan dengan skill pas-pasan, bisa dibayangkan di lokasi saya tidak tahu apa yang ingin saya lakukan. Banyak sekali pertanyaan di kepala. Apa yang harus saya foto? Bagaimana mengatur komposisinya? Saya memotret ke arah mana? Lensa mana yang harus saya pakai? Kompor tadi sudah mati belum ya?

 

Tidak berlebihan jika saya bilang sepanjang sesi saya panik dan benar-benar clueless. Sementara para peserta lain sudah beraksi dengan lincah. Bunyi bip tanda autofocus sudah terkunci bersahut-sahutan dengan bunyi shutter yang sudah tertutup. Sementara saya, masih berdiri dengan pikiran kosong.

 

Saya akhirnya memberanikan diri memotret dan hampir semua saya lakukan dengan mengintip melalui EVF (jendela bidik kecil pada kamera). Ini saya lakukan bukan karena kondisi di luar sedang silau melainkan supaya orang lain tidak bisa melihat jeleknya foto saya.

 

Yamaha Fazzio bersama model. Lumix G85 | Canon nFD 50mm

Selain kebingungan mencari posisi, terlihat saya juga kebingungan mencari titik fokus. Terlihat di foto sebelah kanan foto saya tidak fokus ke mata model tetapi sepertinya fokus di tengah, di posisi lengan di atas batok Yamaha Fazzio.

 

"Makanya sering-sering latihan, Tyar!", saya menasehati diri sendiri dalam hati.

 

Lumix G85 + Olympus 12-40mm f2.8 Pro: Focus Hitrate

Setelah beberapa foto yang tidak fokus, saya memutuskan untuk mengganti lensa yang memiliki kapabilitas autofocus. Kali ini saya menggunakan lensa yang lebih fleksibel, 12-40mm f2.8 Pro. Lensa ini memungkinkan saya untuk mengatur komposisi lebih bebas karena bisa zoom in dan zoom out, tidak seperti lensa fix sebelumnya.

 

Setelah mengganti lensa, ternyata tetap tidak fokus.

 

Gagal fokus, literally. Lumix G85 | Olympus 12-40mm f2. Pro

Soal lensa, sebetulnya lensa Olympus ini adalah lensa yang sangat bisa diandalkan soal ketajaman dan autofocus. Di area inilah Lumix G85 menunjukkan kelemahannya. Saya sangat mencintai kamera ini, tetapi memang autofocus bukanlah area unggulnya. Teknologi Contrast-Detect DFD sepertinya sulit untuk mengimbangi momen yang serba cepat. Ditambah saya juga yang memang kurang berpengalaman jadilah mahakarya fokus meleset ini.

 

Seingat saya, saya menggunakan mode deteksi wajah-mata tetapi memang saat saya memotret, area fokus berwarna kuning yang menunjukkan kamera belum mengunci fokus dan saya sudah menembak.

 

Sepertinya saya semakin yakin untuk tidak merekomendasikan kamera ini untuk yang kebutuhan memotretnya lebih banyak. Lebih baik pilih Sony, Canon, atau pilih body Lumix S5 Mark II yang sudah menggunakan teknologi Phase-Detect jika autofocus adalah kebutuhan utama.

 

Lumix G85 | Olympus 12-40mm Pro | f2.8 | 1/2500

Soal ketajaman, combo ini menurut saya masih bisa diandalkan terutama di tempat yang cahayanya cukup. Sayang sekali saya tidak bisa hal yang sama untuk kecepatan dan akurasi fokusnya. Menggunakan Lumix G85 yang autofocusnya tidak reliabel sangat berisiko momen terlewat.

 

Olympus 12-40mm f2.8 Pro: Focal Range

12-40mm di body Micro Fourd Third berarti setara 24-80mm pada kamera Full Frame. Focal range yang cukup fleksibel untuk banyak keperluan. 12mm sudah cukuplah untuk ambil angle lebar, dan 40mm cukup sempit untuk close up.

 

Lumix G85 | Olympus 12-40mm Pro di 12mm

Mohon maaf fotonya miring dan bocor, kedua foto di atas semata untuk memberikan gambaran selebar apa angle yang bisa didapatkan dengan lensa ini.

 

Lumix G85 | Olympus 12-40mm Pro di 40mm

Di focal terjauhnya, lensa ini berada di 40mm, setara 80mm di kamera full frame.

 

Lumix G85 | Olympus 12-40mm Pro di 40mm dan f2.8

Ini adalah alasan saya membeli lensa ini. Focal range yang cukup fleksibel dan memiliki aperture (bukaan) maksimal di f2.8. Memungkinkan lebih banyak cahaya yang masuk sekaligus menciptakan separasi melalui efek blur pada background sehingga foto potret menjadi lebih menarik.

 

Untuk diingat, lensa ini dipasang di body yang sudah cukup jadul yaitu Lumix G85. Saya jadi penasaran bagaimana jika lensa ini dipasangkan di body yang lebih moderen seperti G9 atau GH6, atau mungkin G9 Mark II yang dirumorkan akan segera diperkenalkan sebagai kamera MFT pertama dari Lumix yang mengadopsi Phase Detect Auto Focus (PDAF).

 

Lumix G85 | Olympus 12-40mm Pro

Satu area yang juga menjadi kekuatan lensa ini adalah jarak fokus minimumnya yang cukup dekat. Di atas kertas, lensa ini memiliki jarak fokus minimal di 20cm. Menjadikannya cocok untuk mengambil foto close-up atau detail produk.

 

Lumix G85 | Olympus 12-40mm Pro

Saya kemudian bergerak ke spot foto Nmax. Melewati jalan Sarinah yang pagi tadi sangat ramai. Suasana 17-an masih terasa sangat kental. Sesekali lewat parade.

 

Sebelum memulai memotret, saya mengganti lensa kembali ke Canon nFD 50mm f1.4.


Lumix G85 | Canon nFD 50mm f1.4

Lumix G85 | Canon nFD 50mm f1.4

Berbanding terbalik dengan lensa Olympus 12-40 Pro yang jauh lebih moderen dan tajam, Canon nFD memiliki karakter sebaliknya: soft dan serba manual. Lensa ini tidak begitu tajam, cenderung lembut. Ini sama sekali tidak berarti bahwa lensa ini jelek. Lensa yang usianya lebih tua dari saya ini memang biasanya sengaja digunakan untuk memberi kesan nostalgik dan organik. Cocok untuk foto yang moody.

 

Lumix G85 | Canon nFD 50mm f1.4

Yang pasti, lensa Canon nFD ini jauh lebih menantang untuk digunakan. Pertama, karena ini adalah lensa manual. Kedua, jarak focalnya yang fixed di 50mm atau setara 100m di full frame. Frame menjadi sangat sempit sehingga harus mengambil dari jarak yang cukup jauh. Untuk foto outdoor, ini tidak masalah. Namun untuk penggunaan di dalam studio, ini pasti akan sangat menantang. Bahkan bisa mustahil jika ruangannya kecil.

 

Beda cerita kalau lensa ini di-adapt di body APSC atau fullframe. Frame akan lebih luas dan hasil akan lebih maksimal.

 

Lumix G85 | Canon nFD 50mm f1.4

Ci Martha dengan humble memberikan saran kepada para peserta untuk memperlakukan model dengan respect dan humanis. Kenali namanya, dan jangan ragu untuk memanggil dan mengarahkan. Saran sederhana tetapi sangat berguna untuk saya yang baru pertama memotret model ini. Saya pun mencoba mempraktekkannya dan benar saja. Model terlihat lebih rileks dan refleks saat kita panggil namanya. Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih setiap dia menoleh ke saya. Terima kasih, Windy.

 

Lumix G85 | Canon nFD 50mm

Lumix G85 | Canon nFD 50mm

Lumix G85 | Canon nFD 50mm  

Acara ditutup dengan ngobrol santai di halaman Sarinah. Ci Martha memberikan tips dalam memotret dengan memerhatikan anggota gerak model seperti kaki dan tangan. Penting untuk mengarahkan pose, mengatur komposisi, serta angle agar anggota gerak seperti kaki misalnya agar terlihat lebih jenjang. Suatu tips yang seharusnya saya praktekkan di awal karena setelah diperhatikan lagi, anggota tubuh model yang saya ambil banyak yang terkena crop.

 

Ci Martha sharing sambil mempraktekkan pose

Ci Martha juga memberikan tips apabila hunting bareng seperti ini, kita bisa mengambil angle dari bawah sehingga mengurangi risiko fotografer/orang lain yang bocor alias ikut masuk ke dalam frame. Lebih lanjut jika matahari sedang silau, Ci Martha memberi tips untuk mengarahkan exposure ke wajah model dibandingkan langit.

 

Mengikuti event seperti ini ternyata seru dan mengasyikkan. Saya mendapatkan banyak sekali insight dan yang pasti berkesempatan untuk praktek langsung bersama puluhan fotografer dari berbagai genre. Terima masih Yamaha atas kesempatan ini, Ci Martha untuk sharingnya, dan tentu saja kedua model yang sangat lincah dan sabar meski diterpa sinar matahari yang cukup panas.

 

Jika ada kesempatan lain, sepertinya seru jika ikut lagi.

 

Coba cari saya

Jakarta, 20 Agustus 2023.